Kamis, 13 November 2008

JOKO PENTUL PAHLAWANKU KE : 2

EPISODE : 2
Karena Joko Pentul sangat kecil sebesar genggaman tangan orang dewasa, Joko Pentul hanya bisa berpegangan di leher Macan Putih yang bernama Cantih itu. Kalau Cantih berlari lambat, Joko Pentul bisa dileher Cantih tanpa berpegangan, tapi kalau Cantih berlari cepat sering Joko Pentul memegang kuping dari Cantih. Macan Putih melesat kearah barat dari Gunung Kelud, kecepatannya luar biasa, kalau dia mau, mungkin kecepatannya hampir sama dengan kecepatan Pesawat Terbang , memang sangat luar biasa. Kurang-lebih pada jam 04.00 sore, tibalah keduanya di pinggir sebuah Desa, mereka berdua istirahat. Joko Pentul turun dari leher Cantih, kemudian duduk dan rebahan di akar sebuah pohon yang cukup rindang. Cantih mohon izin pada Joko Pentul untuk pergi sebentar, seperti biasanya cukup dengan memberi isyarat yang sudah dipahami oleh Joko Pentul. Tak lama kemudian, Cantih membawa makanan untuk Joko Pentul, berupa sebuah Apel. Joko Pentul kaget dan menanyakan kepada Cantih : “Cantih ! Kamu dapatkan dari mana Apel itu ? Apakah kamu mencuri ? Ingat, aku tidak mau kalau Apel ini dari hasil curian !” Cantih memberikan isyarat dengan mata dan goyangan kepala yang hanya diketahui oleh Joko Pentul, bahwa buah Apel itu diperolehnya dari hutan. Sejak persahabatan dua makhluk, antara Joko Pentul dengan Macan Putih, Joko Pentul selalu menasehati Macan Putih, layaknya seperti manusia saja, antara lain supaya mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik, jangan merusak alam dan menjauhi perbuatan yang tidak baik dan sebagainya. Sehingga Macan Putih yang diberi nama Cantih itu, walaupun wujudnya Macan namun sifatnya hampir mirip dengan manusia.


Dalam episode sebelumnya, memang belum dijelaskan, sipakah Macan Putih yang sudah begitu akrab dengan Joko Pentul. Untuk mengetahui asal usul Macan Putih, marilah kita mundur sejenak kebelakang. Pada waktu Joko Pentul masih berumur 4 tahun, perkembangan akal dan fisiknya luar biasa, dia sudah dapat bercakap-cakap dengan sempurna, udah dapat berlari-lari lincah, sejak itulah Ibunya mulai membimbing Joko Pentul. Maklum masih bocah atau anak kecil, Joko Pentul sering bermain sendirian di Hutan sekitar rumahnya. Pada suatu ketika, sore hari, Joko Pentul sedang lari-lari agak jauh masuk kehutan, tiba-tiba dia mendengar suara mengaum rintihan, kemudian didekati, ternyata ada seekor Macan Putih besar kurang-lebih panjang badannya sekitar 2 meter. Macan itu kejepit oleh rubuhnya bambu pada waktu terjadi angin kencang, sehingga tidak dapat melepaskan diri. Dasar anak kecil yang belum tahu bahaya atau tidak, melihat makhluk yang terjepit itu, dia berusaha menolongnya. Tapi sayangnya Joko Pentul terlalu kecil, sehingga tidak mudah menyingkirkan bambu yang menjepit Macan itu. Namun dengan semangat untuk menolong, sedikit demi sedikit, dengan menggunakan pengungkit dari potongan bambu disekitar situ, akhirnya Macan itu terbebas dari jepitan bambu. Setelah Macan tersebut terlepas dari jepitannya, Joko Pentul berbalik mau pulang, tapi Macan Putih tersebut melompat dan menghadangnya. Joko Pentul kaget dan sigap tidak takut seraya bertanya: “Hey, Mau apa kamu Macan ! Mau makan aku ? Silakan ! “ Ternyata Macan Putih itu, menundukkan kepalanya hingga sampai ketanah dan menggelengkan kepalanya. Joko Pentul berpikir dalam hati : “Lho, koq ada Macan seperti ini, maunya apa sih. Kalau saya dengar dari Ibu, katanya Macan binatang buas, tapi Macan ini sepertinya dapat diajak ngomong. ” Pikir Joko Pentul, lalu berkata kapada Macan : “Sudahlah, Can (maksudnya Macan), aku mau pulang, kalau kamu mau berterima kasih, berterima kasihlah kepada Allah, bukan kepada saya, karena Ibuku bilang yang mempunyai daya dan kekuatan itu hanya Allah, sedangkan aku hanya perantaranya saja.” Joko Pentul berbalik dan lari, tetapi dengan sigapnya sang Macan sudah menghadang lagi. “Mau apa lagi ?!”, Joko Pentul hampir berteriak. Macan Putih menggosok-gosokkan lehernya ke batang pohon sekitarnya. “Mau apa yaa ? Coba saya dekati “, pikir Joko Pentul. Setelah mendekat, Macan Putih itu membelkangi Joko Pentul sambil merendahkan badannya ketanah. Joko Pentul bertanya kepada Macan Putih : “Apakah kamu suruh aku main kuda-kudaan ?” Macan Putih mengangguk. Dengan tenangnya, Joko Pentul menuruti perintah Macan Putih. Semula dia mulai memanjat punggung Macan Putih dari samping kiri, tapi susah sekali, maklum Joko Pentul terlalu kecil. Rupanya Macan Putih mengetahui kesulitan Joko Pentul, kemudian Macan Putih merebahkan lehernya dan Joko Pentul tahu maksudnya, supaya naik kelehernya. Dasar Joko Pentul memang kecil, walaupun Macan Putih sudah merebahkan lehernya, masih sulit juga memanjat. Joko Pentul tidak kehilangan akal, dia melihat kuping Macan mendekat ketanah, lalu dengan memegang kuping Macan itu dia sampai keleher Macan Putih. Setelah diatas leher, Joko Pentul berkata : “Aku tidak mau minta tolong kepadamu, karena aku hanya mau minta tolong kepada Allah yang menciptakan kita, tapi aku minta kamu mengantarkan aku kerumah kesana, dan juga kamu jangan sampai ketahuan Ibuku yaa !” Joko pentul sambil menunjuk arah rumahnya. Disepanjang jalan, Joko Pentul memperkenlkan namanya, dan secara spontan dia berkata kepada Macan Putih : “Karena kamu Macan dan warnamu Putih, kamu kuberi nama CANTIH yaa !?” Sejak itulah Joko Pentul bersahabat dengan Macan Putih tanpa sepengetahuan Ibunya dan pada hari-hari selanjutnya hampir setiap hari mereka berdua bermain bersama, berlatih silat dan kadang-kadang Joko Pentul mengulangi pelajarannya diatas leher Macan Putih sambil berjalan-jalan ke hutan. Itulah sekilas persahabatan kudua makhluk ciptahan Tuhan yang berbeda satu dengan lainnya.

Sekarang kita kembali, mengikuti perjalanan Joko Pentul dan Macan Putih yang sedang istirahat dibawah pohon rindang. Pada waktu istirahat, Joko Pentul membuka bekal yang dibuat oleh Ibunya dari rumah. Tak lupa dia menawarkan kepada Cantih untuk makan bersama, dengan memberikan sepotong daging ayam. Cantih menolak lembut dengan menggunakan isyarat, mungkin Cantih cukup pengertian, bahwa walaupun semua bekal yang dibawa Joko Pentul itu diberikan kepadanya, tidaklah akan mengenyangkan, karena ukurannya sangat kecil dibandingkan dengan perut Cantih. Setelah makan bekal dan Apel secukupnya, Joko Pentul menunaikan ibadah Sholat Azhar, sebagaimana sholat-sholat lainnya yang tidak pernah ditinggalkannya.

Pada saat Joko Pentul mulai akan mengantuk dibawah rindangnya pepohonan, tiba-tiba terdengar suara sayup-sayup : “Toooloooonggggg!!!” Macan Putih dan Joko Pentul tersentak kaget, setelah beberapa saat mereka berdua saling pandang dan memberikan isyarat, Joko Pentul melompat ke leher Macan Putih dan melesat mengejar suara itu. Semakin lama, suara itu semakin jelas, kemudian tampaklah oleh mereka berdua, ada seorang wanita yang masih bocah kira-kira berumur 4 tahun digendong dipunggung oleh seorang Lelaki Dewasa bertampang sangar kurang lebih berumur 50 tahun diikuti oleh 2 orang Lelaki Dewasa kurang lebih berumur 40 tahun. Lelaki yang satu agak tinggi dari Lelaki yang sangar, tetapi perawakannya kurus dan bermuka cemberut, sedangkan Lelaki satunya perawakannya pendek, cebol dan bermuka ketawa. Bocah Wanita yang digendong oleh Lelaki yang berparas sangar tersebut, ternyata seorang wanita berkulit sawo matang, cantik dan berpakaian warna kuning, selalu meronta minta dilepaskan, tapi apa daya bocah melawan Lelaki dewasa tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali berteriak minta tolong.

Joko Pentul berkata lirih kepada Cantih : “Selama hidupku, selain dari kedua orang tuaku, aku baru melihat manusia didunia ini, tetapi koq wajah-wajah mereka lain yaa ? Ada yang serem, ada yang lucu dan ada juga yang mau menangis !” Lalu lanjutnya : “Cantih, coba kamu mendekat tapi jangan sampai kelihatan !” Macan Putih mengangguk, kemudian melompat ke semak-semak didekat ketiga Lelaki Dewasa dan seorang bocah tersebut, kira-kira berjarak 10 meter. Beberapa saat kemudian terdengar Lelaki Sangar berbicara : “ Hai Bondan, kita sudah mendapatkan anak perempuan ini, kita akan jadikan dia tumbal Gunung Kelud supaya tidak membawa bencana pada Desa kita”. Dan Lelaki Cebol yang ternyata yang diajak bicara, kemudian menjawab : “Ya Kangmas, terus bagaimana caranya ?” Lelaki Cemberut yang kurus tinggi ikut berbicara : “Akh masak kamu gak tahu, kamu memang bodoh sejak dulu tanya-tanya melulu !”. Lelaki Sangar menengahi : “Sudahlah, gak usah ribut-ribut ! Sesuai dengan ajaran atau wejangan nenek moyang kita, bocah perempuan ini akan kita kubur hidup-hidup dibawah pohon Beringin sebagai persembahan kita kepada Eyang Gunung Kelud !” Tanpa selang beberapa detik, bocah perempuan itu menjerit ketakutan dan menangis : “Huuaaa...huaaa, aku tidak mau dikubur hidup-hidup !!!! Toolloooongggggg !!!”
Joko Pentul kaget dan berbisik kepada Cantih : “Sssttt Cantih, benar kan ??? Perbuatan mereka ‘kan mirip dengan wajah-wajah mereka ?” Lanjut bisiknya : “Orang-orang itu koq masih percaya seperti itu yaa ?? Itu ‘kan perbuatan syetan, perbuatan syirik !” Kemudian berbisik lagi : “ Tapi kita lihat dulu, Cantih ! Pesan Ibu seperti yang diajarkan kepadaku, bahwa kita harus menggunakan pikir dulu sebelum bertindak !” Macan Putih itu mengangguk-angguk, tanda mengerti.

Tak lama kemudian, ketiga orang itu berjalan mendekati pohon Beringin yang paling besar disekitarnya, kemudian jongkok dan mencium tanah dihadapan pohon, seolah-olah bersujud. Sedangkan si bocah perempuan hanya menangis lemas karena kecapaian. Orang-orang itu masih bersujud dan dari mulutnya terlihat komat-kamit, seperti ada yang diomongin. Joko Pentul melihat situasi seperti itu, walaupun jaraknya semakin menjauh, sekitar 25 meter, penasaran ingin tahu apa yang sedang dibicarakan. Dengan mengerahkan ilmu atau ajian Sapto Pangrungu yang telah dipeljarinya, dia dapat mendengarkannya walaupun ketiga orang itu berbisik. “Wahai Eyang .... penunggu pohon Beringin... aku minta tolong, minta tolong Eyaanggg...., persembahanku bocah perempuan buat Eyang Gunung Kelud akan kami kubur disini, tolong disampaikan Eeyaangg....” , kata lirih orang yang berwajah garang sambil bersujud didepan pohon. Dan hampi bersamaan, kedua temannya juga berkata lirih : “Benaarr, Eeyangg ! Mendengar kata-kata seperti itu, Joko Pentul berkata dalam hati : “Yaa Allah, masih ada juga manusia yang menyekutukan Engkau ya Allah, dan berikanlah aku kekuatan untuk menolong bocah perempuan itu yaa Allah.”
Kira-kira 10 menit, orang bertiga itu sujud dihadapan pohon, setelah itu terlihat orang yang Cebol mulai menggali tanah dengan goloknya. Joko Pentul berbisik kepada Cantih : “Sssttt Cantih, kita bagi tugas yaa, kamu yang merebut bocahnya, aku yang akan menghajar orangnya !” Cantih mengangguk. “Ayoo, mulai serang !!”, perintah lirih Joko Pentul. Dengan kecepatan luar biasa, diatas lehernya ada Joko Pentul, Macan Putih melompat, menerjang dengan cakarnya kearah orang bermuka sangar yang menggendong bocah perempuan itu. Lalu , “Wwrrraaaakkk”, selendang yang mengikat bocah perempuan itu robek dan dengan sigapnya Macan Putih menggigit baju bocah untuk membwa kabur, dan secara bersamaan Joko Pentul melompat dari leher Cantih memukul telinga dengan kepalannya “Duukkk”. Orang jangkung yang berwajah menagis melihat kejadian itu secra sepintas, lalu berteriak, : “Muuaaccaaannn !!!!”, sambil melompat menjauhi kebelakang. Si muka Sangar terjatuh kelobang yang sedang digali oleh si Cebol dengan golok, terkejut dan berteriak : “Akhhh...!!??”, ternyata goloknya telah menancap di leher si muka Sangar, dan Si muka Sangar mati terbunuh oleh temannya sendiri. Kemudian, si jangkung bangun kembali untuk menarik temannya si Cebol untuk lari. Tidak ada kompromi lagi diantara mereka berdua, ketakutan oleh Macantadi dilihatnya, kemudian lari bersama meninggalkan temannya yang telah mati. (nanti disambung lagi, yaa)